Mungkinkah hidup tanpa Ultra-Processed Foods di Indonesia?
Mungkinkah hidup tanpa Ultra-Processed Foods di Indonesia?
Oleh: Ir. Diana Lo, S.T.P., M.Sc., Ph.D., IPM
Perhatian terkait Ultra Processed Food meningkat, namun sebagai masyarakat yang peduli akan apa yang kita konsumsi, bagaimana caranya menerapkan cara hidup tanpa Ultra-Processed Food??? Sesungguhnya hampir tidak mungkin seseorang dapat meneraptkan 0 ultra-processed foods kecuali orang tersebut membuat sendiri semua bahan makanan, misalnya pembuatan mie, kecap asin hingga pengolahan tebu atau nira menjadi gula. Memasak di rumah pun, tetap akan menggunakan bahan-bahan yang merupakan ultra-processed food seperti minyak goreng, gula, kecap hingga penyedap rasa.
Berdasarkan laporan FAO dalam ultra-processed foods, diet quality, and health using the NOVA classification system, makanan dibagi menjadi empat (4) NOVA (), yakni (1) makanan segar atau makanan yang diolah minimalis, (2) bahan olahan untuk memasak, (3) makanan olahan, dan (4) ultra-processed food. Ultra-processed foods umumnya adalah minuman berkarbonasi, makanan ringan, permen, coklat, es krim, roti yang diproduksi masal, kue, sereal, energy bar, minuman yoghurt, minuman instan, saus instan. Di Indonesia, bahan olahan untuk memasak pun seharusnya bisa masuk ke dalam kategori Ultra-processed foods jika produk seperti yoghurt saja telah masuk dalam kategori Ultra-processed foods. Selain itu, pembagian berdasarkan NOVA tidak mengambarkan apakah makanan yang tidak ultra-processed itu lebih sehat dan aman.
Gerakan mencegah Ultra Processed Food sebenarnya akan berguna untuk mendesak industri yang bergerak bidang makanan lebih mengutamakan pencegahan penambahan bahan tambahan pangan atau perlakuan yang tidak benar-benar diperlukan, misalnya sulfit pada gula, pengawet pada kecap dan sambal, stabilizer untuk minuman yang mudah mengendap hingga treatment pada minyak kelapa sawit. Namun dilain pihak, konsumen juga harus mengerti, produk-produk yang sudah tidak ditambahkan bahan tambahan pangan atau perlakukan tambahan, tidak memberikan kenyamanan bagi konsumen, misalnya kecap asin tanpa pengawet harus dimasukkan dalam kulkas dan akan cepat berjamur, minyak kelapa sawit bewarna merah sehingga produk harus pengorengan akan menjadi merah dan gampang tengik, dan juga semua produk makanan menjadi lebih mahal. Apakah konsumen sudah siap? Selain itu, perlu ada badan yang tidak berpihak seperti BPOM yang dapat memberikan nomor klasifikasi ‘processing level’ yang lebih cocok untuk produk di Indonesia untuk semua produk pangan yang beredar di masyarakat kecuali bahan segar, sehingga konsumen mengerti seberapa banyak perlakuan dan bahan tambahan pangan yang ada pada produk tersebut.
Comments :