AKRILAMID DALAM BAHAN PANGAN
Rani Anggraeni
Proses pengolahan pangan dapat meningkatkan nilai gizi bahan pangan, namun di lain pihak dapat menyebabkan terbentuknya komponen-komponen yang beracun bagi tubuh. Salah satu senyawa toksik yang terbentuk diantaranya dalah akrilamid. Akrilaimd adalah suatu senyawa yang sangat reaktif secara kimia dan biasanya digunakan sebagai bahan baku monomer sintesis poliakrilamid, sejenis polimer yang digunakan dalam pemurnian air dan produksi kertas (Gokmen dan Sanyuva 2008). Senyawa ini merupakan salah satu bahan organic yang biasa digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, untuk memproduksi plastik dan bahan pewarna. Akrilamid merupakan senyawa yang dikategorikan sebagai senyawa penyebab kanker atau berpotensi sebagai karsinogenik pada manusia oleh FDA.
Akrilamid biasanya terbentuk pada makanan yang kaya akan pati, seperti kentang, roti, sereal sarapan dan kopi. Mekanisme pembentukan akrilamid dalam makanan belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan reaksi tersebut meliputi reaksi dari berbagai macam kandungan dalam makanan seperti karbohidrat, lemak, protein, dan asam amino serta berbagai komponen lain dalam jumlah kecil. Studi sistematik tentang pembentukan akrilamida belum dapat dipastikan, kemungkinan terbesar melalui reaksi campuran. Studi juga dipersulit dengan sifat dari akrilamida yang mudah menguap dan mudah bereaksi sehingga dapat hilang setelah terbentuk.
Gambar 1. Reaksi pembentukan akrilamid melalui reaksi Maillard
Akrilamida dianggap sebagai hasil reaksi samping dari reaksi Maillard, yakni reaksi yang berlangsung antara asam amino dengan gula pereduksi (glukosa, fruktosa, ribosa, dan lain-lain) atau sumber karbonil lainnya. Pembentukannya diawali dengan reaksi antara asparagin dengan gula pereduksi, disertai panas tinggi (misal penggorengan). Asparagin merupakan asam amino bebas utama dalam sereal dan kentang, yang merupakan komponen penting (krusial) dalam produksi akrilamid melalui mekanisme degradasi Strecker reaksi Maillard. Selain asparagin, asam amino glutamin juga dapat mengakibatkan pembentukan akrilamid meskipun kekuatannya jauh lebih rendah.
Akrilamid juga dapat berasal dari senyawa-senyawa prekursor seperti akrolein (2-propanal) dan asam akrilat. Secara struktural akrolein mirip dengan akrilamid. Akrolein terbentuk dalam minyak selama proses penggorengan. Dapat juga berasal dari degradasi termal pati, gula, protein, dan asam amino. Oleh karena itu akrolein banyak ditemukan pada produk gorengan. Akrolein dengan adanya penambahan atom oksigen akan berubah menjadi asam akrilat. Adanya substitusi gugus NH3 terhadap asam akrilat mengakibatkan pembentukan akrilamid. Senyawa akrolein dapat diperoleh dari transformasi lipid, degradasi asam amino dan protein, degradasi karbohidrat, dan reaksi maillard yang terjadi antara asm amino atau protein dengan karbohidrat (Lingnert et al. 2002).
Akrolein + O2 Asam akrilat + NH3 Akrilamid (a)
(b)
Gambar 3. (a) Reaksi pembentukan akrilamid dari senyawa akrolein; (b) Struktur kimia senyawa akrolein
Selain dari hasil samping reaksi Maillard dan reaksi pembentukan melalui senyawa akrolein, akrilamid juga dapat terbentuk langsung dari asam amino atau protein. Pembentukan akrilamid melalui jalur ini melewati tahapan reaksi yang cukup kompleks. Reaksi pembentukan yang terjadi meliputi reaksi hidrolisis, pengaturan kembali, dekarboksilasi, deaminasi, dan sebagainya.
Ketiga reaksi pembentukan akrilamid di atas merupakan reaksi pembentukan akrilamid secara oksidasi. Pada tahun 2003, Vattem dan Shetty menyatakan bahwa pembentukan akrilamid di alam tidak hanya terbentuk melalui reaksi oksidasi, juga dapat etrjadi secara non oksidatif. Dalam penelitiannya dilakukan penambahan protein yang berfungsi untuk menstabilkan pati sehingga tahan terhadap pemanasan meskipun pada suhu yang sangat tinggi. Adanya kompleks protein-pati yang stabil ini menyebabkan sulitnya bagi gula dalam pati tersebut untuk mengalami reaksi Maillard sehingga menurunkan kandungan akrilamid. Protein yang menstabilkan pati tersebut ternyata mendelokalisasikan elektron pada gugus karbonil gula melalui asam amino aromatik. Delokalisasi ini mencegah terjadinya keto-enolisasi dari gugus gula sehingga menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan karbon 6 menjadi hidroksiaseton yang memiliki atom karbon 3 yang selanjutnya akan membentu akrilamid melalui reaksi kondensasi. Berdasarkan inilah maka, Vattem dan Shetty menyatakan bahwa pembentukan akrilamid tidak hanya terjadi berdasarkan reaksi oksidatif, melainkan dapat terjadi secara non oksidatif.
Gambar 4. Mekanisme pembentukan akrilamid secara non oksidatif pada produk goreng.
Kandungan akrilamid dalam setiap produk pangan berbeda-beda (Tabel 1). Hal ini dipengaruihi oleh beberapa faktor. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa terdapat beberapa mekanisme terjadinya pembentukan senyawa akrilamid dalam makanan. Karena mekanisme pembentukannya belum diketahui secara pasti, maka hanya dapat menjelaskan mengenai indikasi dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan akrilamid. Suhu yang tinggi dibutuhkan untuk pembentukan akrilamid. Sampai saat ini, belum ada laporan mengenai pembentukan senyawa akrilamid pada suhu di bawah 100 °C (Lingnert et al.2002).
Tabel 1. Data kandungan akrilamid dalam berbagai produk pangan
Pembentukan akrilamid juga dinyatakan sebagai suatu fenomena permukaan. Hal ini ditunjukkan dengan pentingnya hubungan antara aktivitas air dan suhu pada saat proses penggorengan. Pembentukan akrilamid terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu merupakan hasil samping dari reaksi Maillard, maka semakin banyak gula pereduksi dalam produk pangan tersebut, maka kandungan akrilamid yang terbentuk juga akan semakin banyak. Selain itu, pembentukan akrilamid melalui prekursor akrolein juga salah satu mekanisme yang mungkin terjadi, oleh karena itu, kandungan lipid dalam bahan pangan juga cukup mempengaruhi. Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kandungan yang ada dalam bahan pangan sangat mempengaruhi seberapa banyak akrilamid yang terbentuk, selain juga dipengaruhi oleh suhu dan aktivitas air.
Akrilamid merupakan suatu senyawa yang sangat reaktif, sehingga sangat mudah bereaksi dengan senyawa lain. Oleh sebab itu, kandungan akrilamid dalam bahan pangan dipengaruhi oleh kemudahan akrilamid terbentuk melalui mekanisme yang sudah dipelajari sebelumnya dan juga reaksi selanjutnya yang dapat terjadi antara akrilamid yang sudah terbentuk dengan matrix yang terkandung dalam produk pangan tersebut. Karena itu, selain proses pembentukannya, kandungan akrilamid dalam produk pangan juga sangat dipengaruhi oleh waktu penyimpanan. Hal ini karena, selama penyimpanan, akrilamid yang terbentuk dapat bereaksi dengan senyawa yang ada dalam produk pangan tersebut.
Akrilamid dapat bereaksi dengan senyawa reaktif lainnya yang ada dalam produk pangan, seperti urea, glioksal, aldehid, amin, thiol, dan sebagainya. Semua senyawa-senyawa reaktif tersebut terdapat dalam makromolekul yang ada dalam matrix produk pangan. Keberadaan dan konsentrasi senyawa reaktif tersebut dalam bahan pangan menjadi jawaban atas perbedaan kandungan akrilamid dalam produk pangan (Tabel 1).
Pada tahun 2002, Badan Pengawasan Makanan Swedia menemukan adanya akrilamid pada makanan dan feses manusia. Peneliti Swedia mendapatkan bahwa terdapat konsentrasi akrilamida yang sangat besar pada makanan yang digoreng (keripik kentang, median 1200 μg/kg; kentang goreng, 450 μg/ kg), dan makanan yang dipanggang (sereal dan roti, 100-200 μg/kg). Dalam laporannya diketahui bahwa akrilamid akan terbentuk jika dalam proses pengolahannya dilakukan pada suhu tinggi, yaitu di atas suhu 120 °C. Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan yang dilakukan maka kandungan akrilamid yang terbentuk akan semakin banyak. Akrilamid biasanya terbentuk pada makanan yang kaya akan pati, seperti kentang, roti, sereal sarapan dan kopi serta makanan yang diproses dengan suhu tinggi di atas 100 °C.
Berdasarkan studi hewan coba, akrilamida diketahui berpotensi menyebabkan kerusakan sel-sel saraf dan gangguan reproduksi pada hewan coba serta pemberian akrilamida dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumor. Akrilamid juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya tumor paru-paru pada tikus. Pada tikus betina, akrilamida dapat meningkatkan timbulnya tumor kelenjar payudara sedangkan pada tikus jantan dapat memicu degenerasi tubulus seminiferus dan aberasi kromosom spermatosit serta menurunkan kadar testoteron dan prolaktin.
Namun demikian, belum ada fakta yang teruji untuk membuktikan bahwa akrilamida dalam makanan berpotensi menyebabkan kanker pada manusia, karena pemberian makanan yang mengandung akrilamida dengan dosis tinggi pada hewan coba tidak dapat diekstrapolasikan pada manusia secara langsung (Kendall P 2005). Meskipun begitu, belum ada juga data-data yang secara pasti menunjukkan perbedaan diantara manusia dan hewan mamalia, oleh karena itu, hasil-hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai peringatan dini bagi bahaya akrilamid pada manusia. Berdasarkan data-data hasil percobaan mengenai bahaya akrilamid terhadap hewan uji, maka kita perlu mewaspadai mengenai keberadaan senyawa akrilamid ini dalam makanan.
Hoinicke dan Gottermann (2005) mempelajari mengenai perubahan kandungan akrilamid selama proses penyimpanan, karena selama penyimpanan, akrilamid akan bereaksi dengan matrix bahan pangan dan akan mempengaruhi kandungannya dalam produk pangan tersebut. Dalam hal ini, penelitian dilakukan pada produk coockies. Jika tepung gandum dicampurkan dengan sukrosa, maka tidak terjadi penurunan kandungan akrilamid, tetapi ketika dirubah menjadi fruktosa terjadi penurunan kandungan akrilamid yang cukup signifikan. Hal ini membuktikan bahwa senyawa fruktosa yang ada dalam produk pangan dapat mereduksi kandungan akrilamid.
Pada tahun 2003, Friedman dan kawan-kawan melaporkan bahwa kandungan akrilamid dalam produk pangan akan menurun dengan adanya interaksi dengan sinar uv. Untuk produk pangan yang dikemas dalam keadaan tertutup sehingga tidak terpapar oleh sinar uv, keadaan ini tidak mempengaruhi, melainkan dipengaruhi oleh senyawa yang ada dalam produk pangan tersebut. Senyawa yang sangat reaktif dapat bereaksi dengan ikatan ganda terkonjugasi yang ada pada akrilamid. Hoinicke dan Gottermann (2005) membuktikan kesimpulan tersebut dengan menelitinya pada produk kopi. Pada produk kopi yang diekstraksi tidak mengalami penurunan kandungan akrilamid, sedangkan pada produk kopi utuh, terjadi penurunan yang cukup signifikan. Setelah diamati ksenyawa yang hilang pada proses ekstraksi, diketahui bahwa senyawa tersebut adalah tiol. Sehingga ini membuktikan bahwa semakin banyak senyawa reaktif di dalam matrix pangan, maka akan semakin banyak akrilamid yang bereaksi dan kandungannya dalam produk pangan tersebut akan menurun.
Meskipun informasi tentang akrilamida dan dampaknya dalam makanan belum lengkap, FAO dan WHO tetap memberikan arahan sementara untuk mencegah kemungkinan terjadinya risiko akibat akrilamida. Arahan tersebut diantaranya adalah mengikuti pola makan yang seimbang dan bervariasi, seperti sayur-mayur dan buah-buahan, dan menghindari atau mengurangi makanan yang diduga mengandung akrilamida. Untuk makanan yang dimasak, pemasakan tidak dilakukan dengan suhu yang terlalu tinggi, hanya dengan suhu yang cukup untuk menghancurkan mikroorganisme patogen.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengurangi kandungan akrilamid dalam berbagai macam produk pangan. Gokmen dan Hamide (2007) melaporkan bahwa dengan penambahan kation divalent pada produk pangan dapat mengurangi pembentukan akrilamid tanpa mengubah rasa dan tekstur produk tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ou et al. (2006). Dalam penelitiannya, Ou et al menambahkan L-sistein dan CaCl2 yang merupakan garam divalent dalam produk pangan. Hasilnya, kedua senyawa tersebut dapat mengurangi pembentukan akrilamid dalam produk pangan, namun L-sistein sedikit merubah tekstur, sedangkan pada CaCl2 hal tersebut tidak terjadi. Dengan penambahan CaCl2 mouthfeel produk pangan tersebut semakin meningkat. Selain efek baik yang dihasilkan, CaCl2 juga memiliki harga yang realatif murah ehingga lebih efisien dalam penggunannya.
Sekarang ini, banyak proses pengolahan panas yang dapat digunakan. Salah satunya adalah dengan menggunakan microwave. Akrilamid yang terbentuk dari produk yang dipanaskan dengan menggunakan microwave jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggorengan secara konvensional. Laporan ini didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Barutchu et al. (2008). Sehingga pengaplikasian pemansan menggunakan microwave dapat digunakan. Pembilasan dengan menggunaakn air panas efektif dalam menurunkan kandungan akrilamid dalam produk pangan dengan cara menurunkan kandungan precursor pembentuknya, yaitu asparagin dan gula pereduksi. Dengan proses tersebut, transport senyawa precursor menuju permukaan dihambat sehingga hanya sedikit senyawa precursor yang dapat diubah menjadi akrilamid (Viklund et al. 2010). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa reaksi pembentukan akrilamid merupakan fenomena permukaan produk pangan. Sehingga jika tidak ada precursor pembentuk akrilamid pada permukaan, maka tidak akan terjadi pembentukan akrilamid.
Sumber Referensi
Burutchu I, Serpil, S. dan Gulum, S. 2009. Acrylamide formation in different batter formulations during microwave frying. LWT – Food Science and Technology 42 (2009) 17–22
Friedman, M. Chemistry, Biochemistry, and Safety of Acrylamide. A Review. 2003. J. Agric. Food. Chem 51, 4504-4526
Gokmen, V dan Hamide Z. 2007. Acrylamide formation is prevented by divalent cations during the Maillard reaction. Food Chemistry 103 (2007) 196–203
Harahap, Y. 2006. Pembentukan akrilamid dalam makanan dan analisisnya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No. 3, Desember 2006, 107 – 116.
Hoenicke K dan Robert, G. 2005. Studies on the stability of acrylamide in food during storage. Journal of AOAC International Vol. 88 No. 1 2005.
Lingnert et al. 2002. Acrylamide in food: mechanisms of formation and influencing factors during heating of foods. Scandinavian Journal of Nutrition 2002; 46 (4): 159–172
Ou Shi yi. 2008. Reduction of acrylamide formation by selected agents in fried potato crisps on industrial scale. Innovative Food Science and Emerging Technologies 9 (2008) 116–121
Tanseri, L. 2009. Pengaruh suhu terhadap kadar akrilamida dalam kentang goreng simulasi secara kromatografi cair kinerja tinggi fase balik. [skripsi] Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Vattem, D. A, dan Shetty, K. 2003. Acrylamide in food: a model for mechanism of formation and its reduction. Innovative Food Science and Emerging Technologies 4 (2003) 331–338
Viator, C dan Mary, K. M. 2004. Acrylamide: The next safety issue. Choices: The magazine of food, farm and resource issues. A publication of the American Agricultural Economics Association.
Viklund, G. A, Kerstin, M. O, Ingegerd, M. S, dan Kerstin, I. S. 2010. Acrylamide in crisps: Effect of blanching studied on long-term stored potato clones. Journal of Food Composition and Analysis 23 (2010) 194–198
[WHO] Food Safety Programme. 2002. Health implication of acrylamide in food. report of a joint FAO/WHO consultation, WHO Headquarters, Geneva, Switzerland, 25-27 June 2002
Comments :