Cyanotoksin Cemaran Air yang Patut dicermati
Keberadaannya memberikan dampak yang sangat kontroversial. Cyanobakteri tergolong bakteri gram negatif yang mampu berfotosintesis, fungsinya serupa ganggang namun strukturnya sekelompok dengan bakteri.
Bahaya Anna, Mike dan Fannie : Cyanotoksin
Cyanobakteri adalah salah satu dari makhluk hidup tertua, ditemukan fosil berumur lebih dari 3 milar tahun. Peranannya sangat besar dalam siklus biogeokimia dan dalam menyusun struktur, pemeliharaan dan keanekaragaman mikroba dan makhluk hidup di planet bumi kita ini. Pabrik oksigen sehingga kehidupan bisa berlangsung. Atmosfer bumi mengalami perubahan yang drastis, misterius, sulit ditemukan penjelasannya tentang peningkatan kadar gas oksigen dari yang sangat sedikit menjadi 10 persen seperti yang ada sekarang. Cyanobakteri mampu mengikat nitrogen, sehingga membantu kesuburan tanah pertanian. Berbagai senyawa metabolit yang dihasilkan, diteliti secara intensif sebagai antikanker, antivirus dan antifungi dalam bentuk peptida dan glikolipida. Namun dibalik peranan besarnya itu, bakteri ganggang biru-hijau ini menghasilkan beberapa toksin yang tidak bisa diabaikan.
Dikenal sebagai ganggang biru-hijau (blue-green algae), berkembang di perairan terutama air tercemar limbah industri, rumah tangga dan pertanian, misalnya deterjen, buangan nitrat dan fosfat sehingga danau atau waduk maupun sungai mengalami eutrophication, sarat dengan nutrisi. Kelompok penghasil racun terkuat mendapat julukan Mike (Microcystis), Anna (Anabaena), dan Fanny (Aphanizomenan), juga Ocillatoria, Nostoc, dan Nodularia menghasilkan toksin microcystin-LR. Microcystis aeruginosa paling banyak ditemukan. Cyanobakteri tidak sekelompok dengan bakteri pathogen yang ditularkan melalui air seperti Salmonella, Shigella, Aeromonas maupun Enterobacter, sebab Cyanobakteri tidak bisa hidup maupun berinvasi dalam tubuh manusia maupun hewan dan tidak menimbulkan penyakit. Yang berbahaya adalah sel dan toksinnya mencemari air sehingga mengganggu kesehatan. Cuaca, polusi air, dan suhu air sangat menentukan komposisi komunitas cyanobakteri. Keberadaannya dalam jumlah besar mudah sekali terdeteksi oleh mata kita dengan air yang biru kehijauan, dan bau yang tidak menyenangkan.
Cyanotoksin dibagi menjadi dua kelompok, yaitu peptida yang meracuni hati, dan alkaloid yang meracuni syaraf merusak DNA. Secara umum ada 5 jenis, hepatotoksin menyerang hati, neurotoksin menyerang syaraf dan otot, sitotoksin mengakibatkan kerusakan DNA, dermatoksin dan iritan toksin, berupa lipopolisakharida yang terkandung dalam dinding selnya, mengakibatkan gatal di kulit, penyebab tumor kulit dan peradangan saluran cerna. Microcystis sp. paling banyak tumbuh di perairan di seluruh dunia, menghasilkan toksin microcystin, suatu heptapeptida siklik dan racun kuat terhadap hati. Pada mamalia, mikrosistin fatal bagi hati dan juga promoter tumor. Dilaporkan, sapi yang minum air tercemar cyanotoksin, dalam susu sapi maupun dagingnya tidak terdeteksi toksin ini.
Hasil riset tahun 2000 – 2002 di Australia, ternyata microcystin meningkat pada suhu hangat dan tertinggi pada suhu antara 24-28,5 o C, dan pada konsentrisi nutrisi terlarut yang tinggi dimana perbandingan total nitrogen/fosfor lebih dari 7:1.
Berbagai insiden keracunan cyanotoksin
Perhatian pada efek negatif cyanobakteri terhadap kesehatan diawali dengan insiden di Arizona, Amerika Serikat tahun 1978. Cyanobakteri yang tumbuh di tambak udang di pesisir pantai, mengakibatkan kematian udang. Cemaran cyanotoksin pada manusia bisa ditularkan melalui rantai makanan baik sayuran dari air irigasi tercemar, maupun produk hewan termasuk hasil perairan tercemar yang dikonsumsi manusia. Selama berwisata, kemungkinan kontak pada kulit, mengkonsumsi produk pertanian tercemar, makanan suplemen ganggang tercemar, tiram dan ikan yang hidup di perairan yang tercemar cyanobakteri beracun.
Musim panas tahun 1995 di danau Shin-ike Nishinomiya, Hyogo Jepang, sekitar 20 bebek liar mati secara tidak normal, akibat merebaknya cyanobakteri Microcystis aeruginosa. Saat itu danau Shin-ike sangat tercemar, khususnya oleh limbah asal gempa bumi Kobe Januari 1995. Otopsi bebek-bebek malang tersebut menunjukkan adanya keracunan hati karena keracunan microcystin. Di Amerika ikan lele tercemar mikrosistin.
Di Inggris cemaran mikrosistin-LR ditemukan pada air irigasi tanaman selada air, sehingga ditarik dari pasar. Tahun 1996, di Caruaru Brazil, air untuk cuci darah terkontaminasi cyanobakteri dan mengandung mikrosistin. Enam puluh orang dari 126 pasien yang keracunan meninggal akibat keracunan hati dan syarafnya. Pengaruhnya terhadap kesehatan bisa ringan seperti gangguan perut, mabuk, mual, demam, gejala seperti flu, sakit tenggorokan, pedih di mata dan telinga, gatal2, sakit punggung, kerusakan ginjal dan hati. Di Cina, insiden kanker hati meningkat akibat air minum yang tercemar cyanobakteri. Target organ mikrosistin terutama hati, ginjal dan otak. Efek negatif cyanotoksin tercatat dalam literature ilmiah selama 50 tahun terakhir. Bayi dan anak2 lebih rentan ketimbang orang dewasa, konsumsi air permukaan seperti danau, kolam, sungai dan waduk tanpa perlakuan tidak boleh dilakukan.
Tahun 2003-2004, dilaporkan kandungan mikrosistin dalam air minum di Argentina, Autralia, Bangladesh, Canada, Republik Ceko, Cina, Finlandia, Perancis, Jerman, Latvia, Polandia, Thailand, Turki, Spanyol, Swiss dan Amerika.
Koran Sunday Herald di Inggris 3 April 2005 memberitakan temuan tim riset internasional yang diketuai oleh Professor Geoffrey Codd dari Universitas Dundee, 29 neurotoksin dari 30 sampel cyanobakteri dari sumber air di Skotlandia, Irlandia Utara, Belanda, Israel, India, Australia, Amerika dan tempat lainnya. Toksin tersebut diketahui menyebabkan insiden penyakit Alzheimer seperti yang diderita masyarakat Chamorro di kepulauan Pasifik Guam. Toksin ini ditemukan pada otak orang-orang Chamorro yang meninggal akibat kelumpuhan otak.
Tahun 2003, toksin yang sama ditemukan pada otak 9 orang penderita Alzheimer di Kanada, ternyata makanan suplemen ganggang yang dikonsumi tercemar cyanotoksin penghasil racun, dan produk serupa juga ditemukan di Jerman dan Swiss, mengandung mycrocystin-LR. Health Canada, Food Research Division Banting Research Center di Ontario memonitor 100 sampel makanan suplemen Spirulina dalam bentuk pil, kapsul dan bubuk di pasaran, dan menemukan mikrosistin sebesar 0,5 – 35 g/g.
Banyaknya insiden pada hewan maupun manusia maka WHO tahun 1998 mensyaratkan cemaran mikrosistin dalam air minum harus di bawah 1 g/l.
Di Australia, Anabaena circinalis, Microcystis spp. dan Cylindrospermopsis raciborski, mendominasi perairan sebagai sumber air minum. National Health and Medical Research Council Australia mensyaratkan kandungan mikrosistin tidak melebihi 1,3 g/l dalam air minum.
Perairan Indonesia sangat rentan
Indonesia sebagai negara tropis dengan masyarakat yang masih rendah kesadarannya terhadap pembuangan limbah industri, pertanian maupun rumah tangga ke danau maupun sungai, adalah habitat yang sangat baik bagi cyanotoksin beracun Anna, Mike dan Fannie. Jurnal Water Research tahun 2002, menyatakan waduk Saguling di Jawa Barat terkontaminasi Cyanobakteri penghasil racun, Microcystis sp, yang mengakibatkan kematian ikan yang diternakkan di waduk tersebut.
Di negara2 berkembang, cemaran cyanotoksin umumnya belum ditangani karena kurangnya pengetahuan, tenaga ahli dan fasilitas. Di negara maju manajemen risiko cyanobakteri dan toksinnya mulai ditangani dengan terjadinya insiden yang menimpa hewan dan manusia, seperti di Inggris Raya, Australia, Amerika dan Brazil.
Pengolahan air konvensional yang hanya menyaring atau penambahan penggumpal tidak efektif menyingkirkan mikrosistin terlarut dalam air, hanya menyingkirkan sel cyanobakteri. Racun yang keluar dari sel cyanobakteri, tidak dapat dihilangkan dengan perlakuan tersebut di atas. Merebus air tercemar bukannya menghancurkan toksin, malah memecah sel cyanobakteri dan membantu melepaskan toksin. Pada kebanyakan negara berkembang, kandungan cyanotoksin dalam air minum belum dianalisis. Perlu penanganan khususnya sumber air minum, waduk, danau dan sungai tempat rekreasi kolam ikan, tambak udang, air irigasi lahan pertanian, dan orang2 terlibat dalam aktifitas tersebut. Instansi terkait dengan pengelolaan air khususnya air minum, perlu melakukan manajemen resiko. Mencegah lebih baik daripada mengobati.
Bahan Bacaan
1. Bell, S.G. & Codd, G.A. 1994. Cyanobacterial toxins and human health. Rev. Med. Microbiology 5: 256-264
2. Kato, K., 2006. Sphingosinicella microcystinivorans gen. nov., sp. nov., a microcystin-degrading bacterium. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. 56, 85–89.
3. Maruyama, T., Park, H.D., Ozawa, K., Tanaka, Y., Sumino, T., Hamana, K., Hiraishi, A., Meriluoto, J., Gueimonde, M., Haskard, C.A., Spoof, L., Sjo¨ vall, O.,Salminen, S., 2005. Cyanobacterial toxin microcystin-LR removal by human probiotics. Toxicon 46, 111–114.
4. Park, H.D., Sasaki, Y., Maruyama, T., Yanagisawa, E., Hiraishi, A.,Kato, K., 2001. Degradation of the cyanobacterial hepatotoxin microcystin by a new bacterium isolated from a hypertrophic lake. Environ. Toxicol. 16, 337–343.
5. Surono IS, Collado MC, Salminen S and Meriluoto, J. Effect of glucose and incubation temperature on metabolically active Lactobacillus plantarum from dadih in removing microcystin-LR (Food and Chemical Toxicology Volume 46, Issue 2, February 2008, 502-507.
(Ir. Ingrid S.Surono, M.Sc., Ph.D)
Comments :