Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat, dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan dan pakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang (Maryam 2002).
Mikotoksin dan Mikotoksikosis
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Fox dan Cameron 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X –disease pada tahun 1960 (Maryam 2002).
Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox 1981), lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25%-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.
Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini juga ditentukan oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan (8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan (Bahri et al. 2002).
Selama penyimpanan, makanan atau bahan pangan sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Berikut di bawah ini Gambar 1, kapang yang terdapat pada bahan pangan

gambar 1Gambar 1. Bahan makanan yang dapat terkontaminasi oleh mikotoksin

Jenis Mikotoksin yang Berpotensi Menimbulkan Permasalahan
Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-12 0C sampai 42-43 0C dengan suhu optimum 32-33 0C dan pH optimum 6.
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi 1985, Agus et al. 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al. 1995), telur (Maryam et al. 1994), dan daging ayam (Maryam 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58 % pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Okratoksin
Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.
P. viridicatum tumbuh pada suhu antara 0-31 0C dengan suhu optimal pada 20 0C dan pH optimum 6-7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8-37 0C. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam, terupama pada komoditas kopi selain itu OA juga banyak ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.
Zearalenon
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F. tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20-25 0C dan kelembaban 40-60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi.
Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksi zearalenon, 3-hidroksi zearalenon, 7-dehidro zearalenon, dan 5- formil zearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.
Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al. 1988). Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme.
F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5-27,5 0C dengan suhu maksimum 32-37 0C. Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis. Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.
Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3. Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum.
Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi (1996), Ali et al. 1998 dan Maryam (2000b). Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam 2000a).

Mengantisipasi Bahaya Mikotoksin
Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur benang (kapang). Pada jagung yang terkontaminasi oleh Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Aflatoksin merupakan molekul kecil, tidak larut dalam air, stabil dengan berbagai proses pengolahan.
Penanganan pasca panen pada bahan pertanian seperti halnya serealia dan kacang-kacangan perlu dilakukan dengan baik. Biji-bijian yang kurang kering (dengan kadar air>12 %), akan ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur yang diantaranya berpotensi menghasilkan mikotoksin. Aflatoksin mempunyai senyawa bifuran yang bersifat non polar, stabil terhadap panas dan tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimiawi. Dengan sifat-sifat ini, aflatoksin yang sudah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Bahkan aflatoksin B1 yang mencemari pakan dan terkonsumsi sapi perah juga tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1. Akumulasi toksin di dalam tubuh manusia ataupun hewan ternak memiliki efek hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik, teratogenik, maupun immunosupresif.
Regulasi Tentang Mikotoksin
Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah dituangkan dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Tahun 2004. Di sana disebutkan bahwa batas maksimum cemaran aflatoksin B1 (AFB1) dan total aflatoksin produk pangan berbasis kacang tanah dan jagung masing masing adalah 20 ppb dan total aflatoksin 35 ppb. Produk susu memiliki batas maksimum aflatoksin M1 (AFM1) 0,5 ppb. Aflatoksin yang mencemari susu berasal dari perubahan aflatoksin B1 pada pakan menjadi aflatoksin M1. Draft SNI tentang batasan cemaran mikotoksin, meliputi 5 jenis yaitu aflatoksin, deoksinivalenol, fumonisisn, okratoksin A, dan patulin sedang dibuat. Khusus untuk cemaran aflatoksin, batas maksimum yang ditetapkan pada berbagai produk pangan adalah sama seperti halnya pada Keputusan Kepala Badan POM (2004), yaitu pada kacang tanah dan produk olahannya serta jagung dan produk olahannya, adalah 20 ppb untuk AFB1 dan 35 ppb untuk total aflatoksin, dan pada susu dan produk olahannya adalah 0.5 ppb untuk AFM1. Namun demikian pada kenyataannya, data yang ada menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia, yaitu kacang tanah dan jagung banyak tercemar oleh aflatoksin, bahkan cemaran aflatoksin pada kedua komoditi yang beredar di pasar banyak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (>20 ppb).

PUSTAKA
Ali N., Sardjono, A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998. Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia. Food. Add. Contaminant. 15: 377-384.
Bahri S., Maryam, R dan Widiastuti, R. 2002. Materi Kuliah pada Workshop on “Grain and Feed Quality”, Bogor 30 Januari – 1 Pebruari 2002.
Bahri S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275.
Bhat R.V. and J.D.Miller. 1991. Mycotoxins and food supply. FAO, Food, Nutrition and Agriculture, 1: 27-31.
Cole R.J., Cox R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press, New York, pp 1850.
Kubena LF., Edrington, TS., Harvey, RB., Buckley, SA., Phillips, TD., Rottinghaus, GE., casper, HH. 1997. Individual and combine effects on fumonisin B1 present in Fusarium moniliforme culture material ant T-2 toxin or deoxynivalenol in broiler chicks. Poultry Science 76(9): 1239-1247.
Kuiper-Goodman T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food. Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557.
Maryam R. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati Ayam. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 236-339. Bogor, 12-13 Maret 1996.
Maryam R., Bahri, S. Zahari P. 1994. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan Aflatoksikol dalam Telur dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Prosiding Teknologi Veteriner untu Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan. Bogor, 22-24 Maret 1994.
Maryam R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 51-57.
Maryam R. 2000b. Kontaminasi Fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania, Departemen Pertanian. Hal.538-542.
Maryam R. 2002. Mikotoksin dan Mikotoksikosi. Makalah Falsafah Sains. Bogor: IPB.
Miller JD., Savard ME., Sabilia A., Rapior S., Hocking, AD, Pitt, JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from South East Asia. Mycologia 85(3): 385-391.
Muhilal and D.Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia. Vol.X (1): 75-79.
Sinha K.K.1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal. 8(3): 87-93
Sudjadi S. Machmud M., Damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25.
Trisiwi. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana, Universitas Lampung.

(Dede Saputra, S.Pi., M.Si.)