Emulsi merupakan suatu sistem yang heterogen yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan dimana cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi sedangkan cairan yang mendispersikannya disebut fase kontinyu atau medium dispersi. Aplikasi teknologi emulsi sangat luas dalam berbagai industri, khususnya pada industry pangan,contohnya dalam pembuatan keju, untuk mengontrol flavor, dan untuk mengatur kondisi fisik produk seperti tekstur & tingkat kekentalannya.
Pada proses pembentukan emulsi dibutuhkan emulsifier dan energi untuk memecah fase terdispersi menjadi butiran-butiran yang halus. Emulsifier tersebut akan diadsropsi oleh medium dispersi lebih besar daripada zat yang terdispersi, kemudian proses adsropsi emulsifier ini akan menurunkan tegangan permukaan dari medium dispersi yang lebih besar daripada zat yang terdispersi, sehingga akan mengurangi kecenderungan medium disperse dan membentuk suatu lapisan yang terpisah, sehingga terbentuklah emulsi.
Pada dasarnya emulsifier merupakan surfaktan yang mempunyai dua gugus, yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipolifik. Gugus-gugus ini menyebabkan emulsifier memilki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarutkan. Gugus hidrofilik mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan gugus hidrofobik mampu berikatan dengan bahan lain yang bersifat non polar seperti minyak. Didalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominant jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul emulsifier tersebut akan diadsropsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehinggaa mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya bila gugus non polarnya yang lebih dominant, maka molekul molekul emulsifier diadsropsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan air.
Tujuan penambahan emulsifier adalah untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi. Emulsifying agent akan membentuk lapisan tipis (film) yang akan menyelimuti patrikel dan akan mencegah partikel tersebut bersatu dengan partikel sejenisnya. Beberapa emulsifier yang berperan di dalam emulsi pangan antara lain adalah protein, pati fosfolipid dan turunan-turunan lemak seperti mono dan digliserida.
Kasein merupakan protein yang dominan terdapat pada susu, dimana 82 % protein yang terdapat pada susu sapi adalah kasein. Kasein berasal dari susu hewan, termasuk didalamnya susu manusia. Karena kasein merupakan protein, maka kasein memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik yang dibutuhkan sebagai emulsifying agent dan dapat menstabilkan emulsi dengan cara mengikat air dan minyak dikedua fasenya tersebut. Secara umum, kasein digolongkan kedalam 4 sub grup yaitu α σ-, αs2-, ß- and κ-kasein. Semua jenis kasein memilki sifat yang heterogen dan mengandung 2-8 variasi gen yang berbeda. Perbedaan variasi dari tiap kasein dengan yang lainnya hanya pada kandungan asam aminonya. a- dan ß- kasein secara umum mengandung asam amino esterifikasi menjadi asam fosforik. Asam fosforik mengikat kalsium membentuk ikatan antara molekul dalam. Pembuatannya yaitu kasein mudah membentuk polimer yang mengandung beberapa tipe kasein yang sama atau berbeda. Kelimpahan kelompok fosfat dan sisi molekul hydrophobic kasein, molekul yang dibentuk oleh polimer kasein sangat khusus dan stabil. Polimer kasein dibangun dari ratusan dan ribuan individu molekul dan membentuk larutan koloid, yang memberikan warna putih susu. Molekul kompleks ini dikenal sebagai kasein micelles. Kasein micelles, ditampilkan dalam Gambar 1, terdiri dari kompleks sub-micelles, diameter 10 sampai 15 nm (1 nanometre = 10-9 m). Ukuran media micelle sekitar 400 sampai 500 sub-micelles dan mungkin lebih besar 0,4 mikron (0,0004 mm).
Protein yang dapat dijadikan sebagai emulsifier adalah protein dari jenis protein konyugasi yaitu protein yang mengandung senyawa lain selain protein seperti fosfoprotein (protein yang berikatan dengan fosfat) dan lipoprotein (protein yang berikatan dengan lemak). Sifat dari protein ini sangat penting dalam proses pengolahan pangan, seperti pada pembuatan salad dressings, saos, frankfurters, dan sosis. Bahan pangan seperti daging, susu, telur, dan kedelai dapat dijadikan sebagai emulsifying agent alami.

untitled
Gambar 1. Molekul kompleks kasein micelles
A: submicelle; B: protruding chain; C: Calcium phosphate; D: κ-casein; E: phosphate
groups

Kalsium fosfat dan sisi hidrophobik berinteraksi antara sub-micelles yang bertanggung jawab untuk stabilitas dari kasein micelles. Bagian hidrophilic dari κ-kasein mengandung kelompok karbohidrat, yang dibangun dari komplek micelles sebelah luar (Gambar 1 B), terlihat “bulu-bulu”, menstabilkan micells yang penting dalam melawan penggabungan.
Ada beberapan jenis kasein yang digunakan dalam emulsifier, antara lain sodium caseinate, casein micelles, k-casein depleted micelles dan whey protein (k-protein rich). Dari jenis-jenis tersebut, untuk melihat jenis yang paling sesuai sebagai emulsifier dapat ditentukan dengan berbagai cara. Menentukan jenis kasein dapat dilakukan dengan cara, antara lain :1) Menentukan luasan permukaan lemak yang terbentuk yang dibandingkan dengan energi yang digunakan, 2) Menentukan protein yang terbentuk yang dibandingkan dengan energi yang digunakan, dan 3) Menentukan perbandingan antara luas permukan lemak dan protein.
Contoh pemanfaatan kasein sebagai emulsifier agent adalah pada proses pembuatan keju, dimana yang paling berperan penting adalah kelompok κ-casein dan karbohidrat. Rennet, digunakan dalam bagian awal proses pembuatan keju, yang memotong bagian karbohidrat di κ-kasein dalam permukaan micells. Dengan demikian micells akan kehilangan kelarutan dan mulai untuk menggabung menjadi bentuk dadih. Pada suhu rendah struktur micells akan menjadi lemah, karena rantai κ-kasein mulai terlepas dan kalsium hidroksifosfat terpisah dari struktur micells. Penjelasan dari fenomena ini adalah bahwa ß-kasein jenis yang bersifat hidrofobik dan ikatan hidrofobik tersebut akan melemah ketika suhu diturunkan. Hidrolisis ß-kasein menjadi dan pepton protease (produk hasil pemecahan) menyebabkan rendemen produksi keju semakin rendah karena fraksi pepton protease tertinggal dalam whey. (Wiwit Amrinola, STP., M.Si)