Makan untuk hidup, atau hidup untuk makan ? Agar hidup sehat, tentunya kita makan untuk hidup sehat, agar kualitas hidup kita tinggi.
Makna ungkapan di atas adalah pemilihan makanan secara cermat, smart eating. Konsumsi zat gizi lengkap dalam menu sehari-hari bukan berarti terjamin kecukupan gizinya. Mengapa ? Beberapa senyawa yang terkandung dalam makanan bisa mengandung senyawa yang menghambat ketersediaan biologis (bioavailability), ada yang bersifat racun (toxic), dan ada juga yang bahkan meningkatkan ketersediaa biologis zat gizi yang terkandung dalam makanan, disamping kaidah keamanan pangan yang harus terpenuhi. Pada umumnya tanaman mensintesis berbagai metabolit sekunder sebagai bagian dari perlindungan terhadap serangan herbivora, serangga, dan patogen atau sebagai sarana untuk bertahan hidup dalam kondisi pertumbuhan yang merugikan. Jika tanaman, hewan ternak atau manusia mengkonsumsi tanaman ini, senyawa tersebut dapat menyebabkan efek fisiologis yang merugikan.
Istilah antinutrient atau racun alami telah banyak digunakan untuk menggambarkan metabolit sekunder bagi tanaman mempertahankan diri, dalam literatur pangan dan gizi. Efek biologis yang diamati sangat bervariasi, tergantung pada struktur senyawa individu, yang bisa berkisar dari protein dengan berat molekul tinggi asam amino yang sederhana dan oligosakarida.
Antinutrient merupakan senyawa alami atau sintetis yang mengganggu penyerapan zat gizi, di antaranya asam fitat, asam oksalat, saponin, polifenol, protease inhibitor, α-amilase inhibitor, dan lektin yang ditemukan di seluruh biji-bijian dan kacang-kacangan hijau.
Asam fitat memiliki afinitas ikatan yang kuat untuk mineral seperti kalsium, magnesium, besi, tembaga, dan seng, sehingga, ketersediaan biologis mineral terganggu untuk penyerapan di usus, asam fitat terkandung dalam kacang-kacangan, biji-bijian termasuk beras, berkisar antara 0,4% sampai 6,4%, berat. Asam fitat merupakan cadangan fosfat utama di sebagian besar biji, 60% sampai 90% dari total fosfor. Dalam monokotil seperti gandum dan beras, terdapat dalam benih jagung dan dalam aleuron, maupun dalam lapisan sekam sehingga dapat dibuang dengan penggilingan. Sayangnya, pada biji dikotil seperti polong-polongan, kacang-kacangan, dan oilseeds, terikat dengan protein dan umumnya terkonsentrasi dengan fraksi protein, sehingga sulit untuk dihilangkan. Asam fitat akan mengikat zat besi, seng, dan protein sehingga keberadaan asam fitat akan “mencuri” komponen gizi tersebut.

Asam oksalat terkandung dalam berbagai tanaman, terutama pada bayam, nenas, dan talas, yang menyebabkan rasa gatal ketika mengkonsumsi nenas dan talas. Oksalat mengikat kalsium dan mencegah penyerapan dalam tubuh manusia, dan dapat mengakibatkan terbentuknya garam kalsium oksalat yang dikenal sebagai batu empedu, dan menurunkan ketersediaan biologis kalsium yang dikonsumsi. Jadi hindari konsumsi bayam, nenas atau talas bersama dengan makan ikan teri, minum susu, atau produk olahannya seperti keju, yogurt dan lainnya. Saponin merupakan glikosida ditemukan terutama pada tanaman termasuk kacang-kacangan (kedelai, kacang polong, dan kacang-kacangan), dan biji-bijian. Kandungan saponin bervariasi antara 0,5% dan 5%, berat kering terutama pada kedelai sebagai sumber makanan yang paling penting,umbi-umbian (kentang, ubi jalar, asparagus, dan alliums) serta gandum, gula bit, teh, dan banyak tanaman obat (seperti ginseng). Mengkonsumsi makanan yang mengandung saponin memberikan efek merugikan dan menguntungkan; misalnya, mengurangi berat badan pada hewan dan efek hypochlesterolemic pada manusia, namun saponin bisa menggangu keutuhan membran.

Polifenol merupakan metabolit sekunder tanaman, banyak terkandung dalam teh, anggur, apel, kakao/coklat, dan sebagainya. Faktor-faktor lingkungan seperti cahaya, perkecambahan, tingkat kematangan, berbagai pengolahan dan penyimpanan, mempengaruhi kandungana polifenol. Polifenol berperan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis dengan bantuan oksigen, sebagaimana yang terlihat pada saat memotong apel dan dibiarkan pada udara terbuka, terbentuk warna coklat pada potongan apel. Dari aspek ilmu gizi, polifenol akan mengikat zat besi dari makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, hindari minum teh atau kopi pada saat sedang makan, terutama makanan yang mengandung zat besi, seperti daging sapi, bayam, kangkung, hati sapi atau ayam.

Protease inhibitor adalah enzim yang menghambat ketersediaan tripsin, pepsin dalam usus. Sebagai contoh, enzim trypsin inhibitor terkandung dalam kedelai mentah, penyebab bau langu pada kedelai, dan bisa mengakibatkan gangguan pada pankreas apabila dikonsumsi dalam jumlah besar. Tripsin inhibitor mengakibatkan berkurang kemampuannya dalam mencerna protein. Mengingat protease tripsin inhibitor adalah enzim, maka pemanasan pada suhu tinggi menjadi tidak aktif, oleh karena itu kandungan tripsin inhibitor pada susu kedelai, tempe dan tahu sudah sangat jauh berkurang.

Beberapa kondisi keasaman dan beberapa zat gizi bersifat meningkatkan ketersediaan biologis zat gizi lainnya. Vitamin larut lemak, A, D, E dan K baru dapat diserap apabila ada minyak atau lemak dalam diet makanan, tanpa adanya minyak atau lemak, maka vitamin A, D, E dan K tersebut ketersediaan biologis nya menjadi sangat rendah. Jadi apabila mengkonsumsi wortel atau kecambah sebaiknya diolah menggunakan mimyak seperti misalnya ditumis, atau dibuat sup dengan kaldu ayam atau sapi, yang mengandung minyak/lemak. Demikian juga halnya dengan penyerapan kalsium akan lebih baik dalam kondisi asam, sehingga kalsium dalam yogurt akan lebih mudah terserap dibanding dalam susu segar. Penyerapan zat besi akan lebih baik dengan ada nya vitamin C, sehingga konsumsi bayam dalam gado2 sebaiknya dicampur dengan tomat, agar penyerapan zat besi menjadi lebih baik.

DAFTAR BACAAN
Apenten R.K.O and Mahadevan K. (1999). Heat Stability and the Conformational Plasticity of the Kunitz Trypsin Inhibitor. Journal of Food Biochemistry 23(2), 209-224
Clarke E. J. and Wiseman J. (2000). Developments in Plant Breeding for Improved Nutritional Quality of Soya Beans II. Anti-nutritional Factors. Journal of Agricultural Science134(2), 125–136.
Chung K.T., Wong T.Y. and Wei C.I. (1998). Tannins and Human Health: A Review. Critical Reviews in Food Science38 (6), 421–464
Ekholm, Päivi; Päivi Ekholm; Liisa Virkki; Maija Ylinen; Liisa Johansson (Feb 2003). “The effect of phytic acid and some natural chelating agents on the solubility of mineral elements in oat bran”. Food Chemistry 80 (2): 165–70

(Ir. Ingrid S Surono, MSc, PhD)